Cantiknya Gadis Cikembar, Hingga Terbunuhnya Bupati Cianjur Aria Wiratanu Datar III

    Cantiknya Gadis Cikembar, Hingga Terbunuhnya Bupati Cianjur Aria Wiratanu Datar III

    Cianjur - Sebuah versi sejarah yang merupakan cerita rakyat menyebutkan Bupati Aria Wiratanu Datar III tewas karena urusan asmara.

    Bagi orang-orang Cianjur yang berumur di atas 70 tahun, Aria Wiratanu Datar III atau lebih dikenal sebagai Dalem Dicondre dikenang sebagai bupati flamboyan yang melahirkan tragedi cinta. Selain sang bupati sendiri, kisah sedih itu juga melibatkan seorang gadis cantik dari Cikembar (Sukabumi) dan pemuda kekasihnya yang berasal dari Citeureup (Bogor).

    Salah satu penduduk Cianjur yang meyakini cerita itu adalah Tjutju Soendoesijah, perempuan berusia 76 tahun. Menurut nenek dari 6 cucu tersebut, kisah terbunuhnya Bupati Cianjur ke-3 itu didapatnya secara turun temurun.

    "Nenek saya bilang Kanjeng Dalem perlaya (tewas) oleh seorang pemuda yang cemburu dan tersinggung, " ungkap Tjuju.

    Syahdan ketika Aria Wiratanu Datar III melakukan perburuan ke daerah Cikembar, di sebuah desa terpencil, dia bersua dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang bupati yang sudah memiliki beberapa istri itu lantas jatuh cinta dan 'meminta' Apun Gencay kepada orangtuanya.

    Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa menolak permintaan Kanjeng Dalem. Sebagai cacah kuricah (rakyat kecil) adalah berdosa untuk menolak keinginan para menak (golongan bangsawan). Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati.

    Singkat cerita, beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun dia tidak sendiri. Ada seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara menemaninya. Begitu mereka sampai di pintu rumah Aria Wiratanu III, tampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang sumringah didampingi salah seorang saudaranya bernama Mas Purwa. "Yap kadieu (ayo mendekatlah)…, " kata sang dalem seraya melambaikan tangan.

    Dengan kepala menunduk, Apun pun mendekat. Seolah tersihir kecantikan Kembang Cikembar itu, kedua mata sang bupati tak berkedip menikmati kemolekan wajah Apun Gencay.

    Dalam situasi itulah, sang pemuda yang ada di sebelah Apun tiba-tiba menyeruak ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sebilah condre terhunus di tangan kanannya.

    Menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja sang bupati terkejut. Namun dia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga perutnya menjadi sasaran tusukan condre sampai tiga kali.

    "Heh, apakah kamu tidak melihat dia menusuk saya?!" teriak Aria Wiratanu III.

    Rupanya gerakan kilat sang pemuda membuat Mas Purwa juga terkesima. Barulah setelah dia mendengar jerit Apun dan teriakan majikannya, dia bereaksi. Namun sang pemuda sudah kabur. Tak ingin kehilangan buruan, Mas Purwa pun mengejar hingga di Alun-alun. Di sanalah terjadi perkelahian seru yang berakhir dengan tewasnya sang pemuda, yang tak lain adalah tunangan Apun Gencay.

    "Saterasna raga eta pamuda saurna mah dugi dicacag diwalang-walang, dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Seterusnya tubuh pemuda itu katanya sampai dicincang habis dan dagingnya disebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara), " tutur Tjutju

    Potongan-potongan tubuh sang kakekasih kemudian dipunguti satu persatu oleh Apun Gencay. Sang Kembang Cikembar melakukannya sambil meratap. Ratapan itulah yang ratusan tahun kemudian mengilhami seniman Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis naskah drama monolog dan cerita pendek berjudul Apun Gencay. Apakah kisah itu benar-benar terjadi?

    Nyaris semua tulisan para sejarawan yang mengisahkan cerita sedih itu selalu berujung kepada manuskrip berjudul Cerita-Cerita Pribumi dari Bupati Cianjur (1858) karya R.A.A. Kusumahningrat yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh C.M.F. Stokhausen ke dalam bahasa Belanda dengan judul Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer (1857).

    R.A.A. Kusumahningrat sendiri tak lain adalah bupati Cianjur ke-9 yang berkuasa pada 1834-1862. Orang-orang Cianjur lebih mengenalnya sebagai Dalem Pancaniti.

    2 dari 3 halamanSyahdan ketika Aria Wiratanu Datar III melakukan perburuan ke daerah Cikembar, di sebuah desa terpencil, dia bersua dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang bupati yang sudah memiliki beberapa istri itu lantas jatuh cinta dan 'meminta' Apun Gencay kepada orangtuanya.

    Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa menolak permintaan Kanjeng Dalem. Sebagai cacah kuricah (rakyat kecil) adalah berdosa untuk menolak keinginan para menak (golongan bangsawan). Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati.

    Singkat cerita, beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun dia tidak sendiri. Ada seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara menemaninya. Begitu mereka sampai di pintu rumah Aria Wiratanu III, tampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang sumringah didampingi salah seorang saudaranya bernama Mas Purwa.

    "Yap kadieu (ayo mendekatlah)…, " kata sang dalem seraya melambaikan tangan.

    Dengan kepala menunduk, Apun pun mendekat. Seolah tersihir kecantikan Kembang Cikembar itu, kedua mata sang bupati tak berkedip menikmati kemolekan wajah Apun Gencay.

    Dalam situasi itulah, sang pemuda yang ada di sebelah Apun tiba-tiba menyeruak ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sebilah condre terhunus di tangan kanannya.

    Menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja sang bupati terkejut. Namun dia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga perutnya menjadi sasaran tusukan condre sampai tiga kali.

    "Heh, apakah kamu tidak melihat dia menusuk saya?!" teriak Aria Wiratanu III.

    3 dari 3 halamanRupanya gerakan kilat sang pemuda membuat Mas Purwa juga terkesima. Barulah setelah dia mendengar jerit Apun dan teriakan majikannya, dia bereaksi. Namun sang pemuda sudah kabur. Tak ingin kehilangan buruan, Mas Purwa pun mengejar hingga di Alun-alun. Di sanalah terjadi perkelahian seru yang berakhir dengan tewasnya sang pemuda, yang tak lain adalah tunangan Apun Gencay.

    "Saterasna raga eta pamuda saurna mah dugi dicacag diwalang-walang, dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Seterusnya tubuh pemuda itu katanya sampai dicincang habis dan dagingnya disebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara), " tutur Tjutju.

    Potongan-potongan tubuh sang kakekasih kemudian dipunguti satu persatu oleh Apun Gencay. Sang Kembang Cikembar melakukannya sambil meratap. Ratapan itulah yang ratusan tahun kemudian mengilhami seniman Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis naskah drama monolog dan cerita pendek berjudul Apun Gencay. Apakah kisah itu benar-benar terjadi?

    Tak jelas benar. Nyaris semua tulisan para sejarawan yang mengisahkan cerita sedih itu selalu berujung kepada manuskrip berjudul Cerita-Cerita Pribumi dari Bupati Cianjur (1858) karya R.A.A. Kusumahningrat yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh C.M.F. Stokhausen ke dalam bahasa Belanda dengan judul Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer (1857).

    R.A.A. Kusumahningrat sendiri tak lain adalah bupati Cianjur ke-9 yang berkuasa pada 1834-1862. Orang-orang Cianjur lebih mengenalnya sebagai Dalem Pancaniti.

    Sumber Primer                                                              Oleh : Anwar Resa

    Anwar Resa

    Anwar Resa

    Artikel Sebelumnya

    Tauco Cianjur No 1 Cap Meong, Kasohor Kamana...

    Artikel Berikutnya

    Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur,...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Kunjungan Kerja Kepala Keuangan Kodam Iskandar Muda ke Korem 012/TU
    Dukung Asta Cita Presiden RI, Panglima TNI Tinjau Program Ketahanan Pangan Kodam IV/ Diponegoro
    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani

    Ikuti Kami